Secara Kimia, Obat antinyamuk merupakan insektisida. Hanya boleh dipakai kalau terpaksa. Tapi faktanya, produk ini sering digunakan secara berlebihan. Akibatnya, ia tidak hanya berbahaya bagi nyamuk tapi juga buat manusia. Agar terhindar dari bahaya itu, ada beberapa trik yang bisa kita lakukan.
Seperti namanya, obat antinyamuk (yang dalam bahasa sehari-hari disebut obat nyamuk), dibuat untuk dikontakkan pada nyamuk, bukan manusia. Kandungan bahan aktifnya tefmasuk golongan insektisida, senyawa kimia pembasmi serangga. Senyawa-senyawa ini merupakan bahan asing yang tidak semestinya masuk ke dalam tubuh manusia.
Dalam bentuk apa pun, yang namanya insektisida tetaplah insektisida. Dibakar, disemprotkan, dipanaskan, maupun dioleskan di kulit, ia tetap insektisida. Dalam dosis tepat, ia bisa membasmi nyamuk.
Namun jika dosisnya berlebihan, ia juga bisa berbahaya
bagi manusia.
"Pemakaian insektisida adalah pilihan kritis bagi umat manusia," kata Dr. rer. nat. Budiawan, dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. Obat antinyamuk diciptakan karena memang terpaksa. Pemakaiannya semata-mata didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaatnya lebih besar daripada risikonya.
Di Indonesia, persoalan risiko-manfaat di bidang pernyamukan ini sudah jelas. Kalau tidak dihalau, nyamuk bisa membawa penyakit malaria, demam berdarah dengue,
chikungunya, dan sejenisnya. Atau paling tidak, membuat kita stres dan kurang tidur. Berdasarkan pertimbangan manfaat inilah, pemakaian obat antinyamuk punya alasan.
Karena termasuk insektisida, sebetulnya tidak ada obat antinyamuk yang betul-betul aman buat manusia. Yang ada adalah obat antinyamuk yang "relatif lebih aman" dibandingkan dengan insektisida lainnya.
Idealnya, obat antinyamuk yang baik memenuhi tiga syarat: ampuh, aman, dan kalau bisa, murah. Masalahnya, tiga kata ini adalah kombinasi yang sulit. Biasanya, semakin ampuh suatu insektisida, semakin tidak aman buat manusia. Ini wajar karena semakin kuat daya basminya terhadap serangga, biasanya semakin kuat juga daya rusaknya terhadap organisme hidup lainnya seperti manusia. Efek buruknya dari gangguan saraf, fungsi liver dan ginjal, sistem pernapasan, hingga efek karsinogenik (memicu kanker) dalam jangka panjang.
Contoh paling gampang adalah diklorvos dan propoksur. Dua insektisida ini pernah dipakai sebagai bahan aktif obat antinyamuk. Produknya terkenal ampuh dan relatif lebih murah dibandingkan dengan produk sejenis. Tapi karena berbahaya bagi manusia, bahan ini kemudian dilarang dipakai sebagai obat antinyamuk.
Karena tidak ada yang benar-benar aman, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan bahaya itu. Ini kunci dari manajemen risiko. Caranya tentu dengan sebisa mungkin menghindari kontak dengan insektisida itu.
JANGAN DI DEKAT KEPALA
Di pasaran setidaknya ada empat bentuk sediaan pbat antinyamuk yang populer, yaitu bakar, semprot, elektrik, dan oles. Tiga jenis produk yang pertama biasanya mengandung insektisida alletrin, transflutrin, pralethrin, dan sejenisnya. Sedangkan sediaan obat antinyamuk oles biasanya mengandung dietiltoluamida (DEET).
Dari keempat jenis sediaan itu, menurut Budiawan, yang relatif paling berbahaya adalah sediaan obat antinyamuk bakar. Peyebabnya tak lain karena inhalasi (hirupan) merupakan jalur cepat insektisida menuju paru-paru sekaligus peredaran darah. Lebih dari itu, ketika produk itu dibakar, ia akan mengeluarkan setidaknya dua jenis senyawa kimia yang mestinya tidak boleh terhirup. Pertama tentu bahan insektisidanya sendiri. Kedua, produk pembakaran yang tidak sempurna.
Katakanlah isinya transflutrin. Saat obat antinyamuk dibakar, transflutrin ini akan menguap lalu bercampur dengan udara yang kita hirup. Adanya panas juga bisa menyebabkan transflutrin terurai menjadi senyawa lain yang mungkin saja lebih berbahaya dari transflutrin itu sendiri. Belum lagi masalah oksigen dan karbon dioksida. Risikonya tidak lagi dobel tapi tripel. Adanya proses pembakaran membuat oksigen di dalam ruangan terpakai untuk proses pembakaran itu sehingga jatah oksigen buat kita akan berkurang.
Semua ini merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan hanyalah sebisa mungkin meminimalkan kontak dengan hasil pembakaran. Salah satunya dengan cara tidak meletakkan obat antinyamuk tepat di bawah kita. Ini kebiasaan keliru yang lazim dipraktikkan. Celakanya, kata Budiawan, tradisi meletakkan obat antinyamuk di bawah kita malah seolah mendapat pembenaran karena sebagian iklan obat antinyamuk bakar di televisi memberi gambaran seperti itu.
Agar asap yang terhirup sesedikit mungkin, obat antinyamuk sebaiknya ditaruh di tempat yang jauh dari kepala, misalnya saja di dekat kaki. Dengan begitu, kalaupun terhirup, asapnya sudah lebih dulu berdifusi dan diencerkan oleh udara di dalam ruangan.
Selain itu, obat antinyamuk bakar disarankan hanya dipakai di dalam ruangan yang punya ventilasi cukup dan memungkinkan adanya sirkulasi udara. Tidak boleh dipakai di ruangan tertutup.
Alasannya jelas. Jika tidak ada sirkulasi udara, maka semakin lama asap akan semakin pekat dan selama tidur kita akan menghirup insektisida plus karbon dioksida. "Kita 'kan butuhnya asap itu bekerja pada nyamuk, bukan kepada kita," ujarnya.
"Setelah dua jam, ruangan baru dibuka. Akan lebih baik jika udara juga diberi kesempatan untuk bersirkulasi terlebih dulu misalnya dengan cara membuka jendela."
DUA JAM SEBELUM TIDUR
Prinsip meminimalkan kontak juga berlaku dalam pemakaian obat antinyamuk semprot. Salah satunya, saran Bu-diawan, penyemprotan ruangan sebaiknya dilakukan sekitar dua jam sebelum tidur. Setelah disemprot, ruangan ditutup dulu untuk memberi kesempatan insektisida bekerja membasmi nyamuk sekaligus memberi waktu agar konsentrasi insektisida di dalam udara tidak terlalu pekat.
Setelah dua jam, ruangan baru dibuka. Akan lebih baik jika udara juga diberi kesempatan untuk bersirkulasi lebih dulu misalnya dengan cara membuka jendela.
Supaya tidak ada pasukan nyamuk yang masuk, tentu saja jendela harus telah dilengkapi dengan kasa nyamuk. Tujuannya agar udara bisa masuk untuk mengencerkan konsentrasi insektisida dari bahan aerosol di dalam ruangan tanpa menambah nyamuk baru.
Setelah ditinggal selama dua jam, tidak berarti udara ruangan sudah sama sekali bebas dari insektisida. Pada saat penyemprotan, partikel insektisida beterbangan di udara bersama partikel aerosol yang membawanya. Setelah dua jam, partikel-partikel ini akan turun dan menempel di permukaan ruangan, baik di lantai, dinding, seprai, sarung bantal, atau mungkin meja, jika ada.
Saat kita tidur, bisa saja partikel ini menguap kembali dan terhirup lewat saluran napas. Untuk meminimalkannya, kita bisa menandai bagian atas dan alas bantal. Sebelum ruangan disemprot, bantal dibalik sehingga bagian atas berada di bawah. Dengan begitu, saat partikel insektisida turun, permukaan bantal yang terkena hanya bagian alasnya. Saat akan dipakai untuk tidur, bantal itu kita balik lagi sehingga bagian alas yang banyak mengandung partikel insektisida itu tidak bersentuhan langsung dengan kepala kita saat tidur.
Ini hanya salah satu cara sederhana. Kita bisa mengembangkannya lewat kreativitas sendiri. Misalnya, melapisi kasur dengan kain khusus saat penyemprotan ruangan. Sehingga, bantal maupun seprai terlindungi dari partikel insektisida saat ia turun dan menempel di permukaan. Lalu, sebelum kita tidur, kain penutup itu kita singkirkan sehingga paparan insektisida saat tidur bisa diminimalkan.
Saat penyemprotan, dosis semprotan juga jangan berlebihan. Seperlunya saja. Memang tidak ada angka yang jelas untuk masalah ini. Tidak ada petunjuk berapa kali semprotan per meter kubik ruangan. Batasan "seperlunya saja" itu sangat relatif. Namun, biasanya dosis semprot minimal bisa kita tentukan berdasarkan pengalaman. Lewat cara coba-coba, kita bisa tahu berapa semprotan minimal sehingga kita bisa tidur dengan nyenyak tanpa gangguan nyamuk. Jika telah ketemu dosis semprotnya, kita bisa menggunakan angka ini untuk pemakaian selanjutnya.
Agar dosisnya bisa minimal, sebaiknya semprotan langsung diarahkan ke tempat yang diyakini menjadi sarang nyamuk. Misalnya, jika kita tahu nyamuk bercokol di pojok-pojok ruangan atau di kolong ranjang, maka tempat-tempat itu harus mendapat prioritas saat proses penyemprotan. Bukan di bagian-bagian yang relatif bersih dan tidak menjadi sarang nyamuk.
Supaya dosis semprot bisa minimal, sebaiknya kamar tidur tidak menjadi satu dengan fungsi lain, misalnya tempat menyimpan barang-barang atau menggantung pakaian. Sebab, semakin banyak barang di dalam kamar tidur, semakin banyak tempat nyamuk bersarang. Akibatnya, dosis semprot pun akan semakin besar.
JANGAN TERKECOH AROMA
Jika kita menggunakan obat antinyamuk elektrik, manajemen risikonya tak beda jauh dengan obat antinyamuk bakar. Patokannya, jangan meletakkan obat antinyamuk di dekat kepala. Meskipun tidak mengeluarkan asap seperti obat antinyamuk bakar, produk ini tetap saja menghasilkan insektisida dalam bentuk uap.
Khusus untuk produk obat antinyamuk oles, manajemen risikonya sedikit berbeda dengan bentuk sediaan lain. Pada sediaan oles, kontak insektisida tidak lewat inhalasi tapi melalui permukaan kulit.
Obat antinyamuk oles biasanya mengadung DEBT. Bahan ini bersifat korosif, bisa mengiritasi kulit yang sensitif. Menurut Budiawan, senyawa ini bisa saja masuk ke dalam peredaran darah dengan cara menembus membran kulit. Karena itu produk-produk ini harus digunakan secara sangat hati-hati pada anak-anak. Jangan dioleskan di kulit yang luka. Tak perlu dioleskan tebal-tebal.
Mungkin kita akan berpikir, ini berbahaya, itu berbahaya. Terus, gimana dongl Ini perta-nyaan yang wajar. Pemakaian obat antinyamuk memang tidak bisa dihindari sama sekali. "Saya di rumah juga pakai. Cuma tidak setiap hari, seperlunya saja. Kalau lingkungan bersih 'kan kita sebetulnya tidak memerlukannya," kata Budiawan.
Ini bisa menjadi ukuran. Jika kita setiap hari menggunakan obat antinyamuk, berarti ada sesuatu yang mestinya dibereskan lebih dulu.
Budiawan juga menyarankan agar kita sebagai konsumen tidak terkecoh oleh kesan obat antinyamuk sebagai sesuatu yang wangi, lembut, cocok dipakai setiap hari, setiap saat. Aroma wangi sama sekali tidak mengurangi tingkat bahayanya buat kesehatan.
Insektisida tetaplah insektisida, apa pun bajunya.
(sumber: Intisari Maret 2007)
"Pemakaian insektisida adalah pilihan kritis bagi umat manusia," kata Dr. rer. nat. Budiawan, dari Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. Obat antinyamuk diciptakan karena memang terpaksa. Pemakaiannya semata-mata didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaatnya lebih besar daripada risikonya.
Di Indonesia, persoalan risiko-manfaat di bidang pernyamukan ini sudah jelas. Kalau tidak dihalau, nyamuk bisa membawa penyakit malaria, demam berdarah dengue,
chikungunya, dan sejenisnya. Atau paling tidak, membuat kita stres dan kurang tidur. Berdasarkan pertimbangan manfaat inilah, pemakaian obat antinyamuk punya alasan.
Karena termasuk insektisida, sebetulnya tidak ada obat antinyamuk yang betul-betul aman buat manusia. Yang ada adalah obat antinyamuk yang "relatif lebih aman" dibandingkan dengan insektisida lainnya.
Idealnya, obat antinyamuk yang baik memenuhi tiga syarat: ampuh, aman, dan kalau bisa, murah. Masalahnya, tiga kata ini adalah kombinasi yang sulit. Biasanya, semakin ampuh suatu insektisida, semakin tidak aman buat manusia. Ini wajar karena semakin kuat daya basminya terhadap serangga, biasanya semakin kuat juga daya rusaknya terhadap organisme hidup lainnya seperti manusia. Efek buruknya dari gangguan saraf, fungsi liver dan ginjal, sistem pernapasan, hingga efek karsinogenik (memicu kanker) dalam jangka panjang.
Contoh paling gampang adalah diklorvos dan propoksur. Dua insektisida ini pernah dipakai sebagai bahan aktif obat antinyamuk. Produknya terkenal ampuh dan relatif lebih murah dibandingkan dengan produk sejenis. Tapi karena berbahaya bagi manusia, bahan ini kemudian dilarang dipakai sebagai obat antinyamuk.
Karena tidak ada yang benar-benar aman, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan bahaya itu. Ini kunci dari manajemen risiko. Caranya tentu dengan sebisa mungkin menghindari kontak dengan insektisida itu.
JANGAN DI DEKAT KEPALA
Di pasaran setidaknya ada empat bentuk sediaan pbat antinyamuk yang populer, yaitu bakar, semprot, elektrik, dan oles. Tiga jenis produk yang pertama biasanya mengandung insektisida alletrin, transflutrin, pralethrin, dan sejenisnya. Sedangkan sediaan obat antinyamuk oles biasanya mengandung dietiltoluamida (DEET).
Dari keempat jenis sediaan itu, menurut Budiawan, yang relatif paling berbahaya adalah sediaan obat antinyamuk bakar. Peyebabnya tak lain karena inhalasi (hirupan) merupakan jalur cepat insektisida menuju paru-paru sekaligus peredaran darah. Lebih dari itu, ketika produk itu dibakar, ia akan mengeluarkan setidaknya dua jenis senyawa kimia yang mestinya tidak boleh terhirup. Pertama tentu bahan insektisidanya sendiri. Kedua, produk pembakaran yang tidak sempurna.
Katakanlah isinya transflutrin. Saat obat antinyamuk dibakar, transflutrin ini akan menguap lalu bercampur dengan udara yang kita hirup. Adanya panas juga bisa menyebabkan transflutrin terurai menjadi senyawa lain yang mungkin saja lebih berbahaya dari transflutrin itu sendiri. Belum lagi masalah oksigen dan karbon dioksida. Risikonya tidak lagi dobel tapi tripel. Adanya proses pembakaran membuat oksigen di dalam ruangan terpakai untuk proses pembakaran itu sehingga jatah oksigen buat kita akan berkurang.
Semua ini merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan hanyalah sebisa mungkin meminimalkan kontak dengan hasil pembakaran. Salah satunya dengan cara tidak meletakkan obat antinyamuk tepat di bawah kita. Ini kebiasaan keliru yang lazim dipraktikkan. Celakanya, kata Budiawan, tradisi meletakkan obat antinyamuk di bawah kita malah seolah mendapat pembenaran karena sebagian iklan obat antinyamuk bakar di televisi memberi gambaran seperti itu.
Agar asap yang terhirup sesedikit mungkin, obat antinyamuk sebaiknya ditaruh di tempat yang jauh dari kepala, misalnya saja di dekat kaki. Dengan begitu, kalaupun terhirup, asapnya sudah lebih dulu berdifusi dan diencerkan oleh udara di dalam ruangan.
Selain itu, obat antinyamuk bakar disarankan hanya dipakai di dalam ruangan yang punya ventilasi cukup dan memungkinkan adanya sirkulasi udara. Tidak boleh dipakai di ruangan tertutup.
Alasannya jelas. Jika tidak ada sirkulasi udara, maka semakin lama asap akan semakin pekat dan selama tidur kita akan menghirup insektisida plus karbon dioksida. "Kita 'kan butuhnya asap itu bekerja pada nyamuk, bukan kepada kita," ujarnya.
"Setelah dua jam, ruangan baru dibuka. Akan lebih baik jika udara juga diberi kesempatan untuk bersirkulasi terlebih dulu misalnya dengan cara membuka jendela."
DUA JAM SEBELUM TIDUR
Prinsip meminimalkan kontak juga berlaku dalam pemakaian obat antinyamuk semprot. Salah satunya, saran Bu-diawan, penyemprotan ruangan sebaiknya dilakukan sekitar dua jam sebelum tidur. Setelah disemprot, ruangan ditutup dulu untuk memberi kesempatan insektisida bekerja membasmi nyamuk sekaligus memberi waktu agar konsentrasi insektisida di dalam udara tidak terlalu pekat.
Setelah dua jam, ruangan baru dibuka. Akan lebih baik jika udara juga diberi kesempatan untuk bersirkulasi lebih dulu misalnya dengan cara membuka jendela.
Supaya tidak ada pasukan nyamuk yang masuk, tentu saja jendela harus telah dilengkapi dengan kasa nyamuk. Tujuannya agar udara bisa masuk untuk mengencerkan konsentrasi insektisida dari bahan aerosol di dalam ruangan tanpa menambah nyamuk baru.
Setelah ditinggal selama dua jam, tidak berarti udara ruangan sudah sama sekali bebas dari insektisida. Pada saat penyemprotan, partikel insektisida beterbangan di udara bersama partikel aerosol yang membawanya. Setelah dua jam, partikel-partikel ini akan turun dan menempel di permukaan ruangan, baik di lantai, dinding, seprai, sarung bantal, atau mungkin meja, jika ada.
Saat kita tidur, bisa saja partikel ini menguap kembali dan terhirup lewat saluran napas. Untuk meminimalkannya, kita bisa menandai bagian atas dan alas bantal. Sebelum ruangan disemprot, bantal dibalik sehingga bagian atas berada di bawah. Dengan begitu, saat partikel insektisida turun, permukaan bantal yang terkena hanya bagian alasnya. Saat akan dipakai untuk tidur, bantal itu kita balik lagi sehingga bagian alas yang banyak mengandung partikel insektisida itu tidak bersentuhan langsung dengan kepala kita saat tidur.
Ini hanya salah satu cara sederhana. Kita bisa mengembangkannya lewat kreativitas sendiri. Misalnya, melapisi kasur dengan kain khusus saat penyemprotan ruangan. Sehingga, bantal maupun seprai terlindungi dari partikel insektisida saat ia turun dan menempel di permukaan. Lalu, sebelum kita tidur, kain penutup itu kita singkirkan sehingga paparan insektisida saat tidur bisa diminimalkan.
Saat penyemprotan, dosis semprotan juga jangan berlebihan. Seperlunya saja. Memang tidak ada angka yang jelas untuk masalah ini. Tidak ada petunjuk berapa kali semprotan per meter kubik ruangan. Batasan "seperlunya saja" itu sangat relatif. Namun, biasanya dosis semprot minimal bisa kita tentukan berdasarkan pengalaman. Lewat cara coba-coba, kita bisa tahu berapa semprotan minimal sehingga kita bisa tidur dengan nyenyak tanpa gangguan nyamuk. Jika telah ketemu dosis semprotnya, kita bisa menggunakan angka ini untuk pemakaian selanjutnya.
Obat antinyamuk oles tidak cocok untuk kulit sensitif.
Agar dosisnya bisa minimal, sebaiknya semprotan langsung diarahkan ke tempat yang diyakini menjadi sarang nyamuk. Misalnya, jika kita tahu nyamuk bercokol di pojok-pojok ruangan atau di kolong ranjang, maka tempat-tempat itu harus mendapat prioritas saat proses penyemprotan. Bukan di bagian-bagian yang relatif bersih dan tidak menjadi sarang nyamuk.
Supaya dosis semprot bisa minimal, sebaiknya kamar tidur tidak menjadi satu dengan fungsi lain, misalnya tempat menyimpan barang-barang atau menggantung pakaian. Sebab, semakin banyak barang di dalam kamar tidur, semakin banyak tempat nyamuk bersarang. Akibatnya, dosis semprot pun akan semakin besar.
JANGAN TERKECOH AROMA
Jika kita menggunakan obat antinyamuk elektrik, manajemen risikonya tak beda jauh dengan obat antinyamuk bakar. Patokannya, jangan meletakkan obat antinyamuk di dekat kepala. Meskipun tidak mengeluarkan asap seperti obat antinyamuk bakar, produk ini tetap saja menghasilkan insektisida dalam bentuk uap.
Khusus untuk produk obat antinyamuk oles, manajemen risikonya sedikit berbeda dengan bentuk sediaan lain. Pada sediaan oles, kontak insektisida tidak lewat inhalasi tapi melalui permukaan kulit.
Obat antinyamuk oles biasanya mengadung DEBT. Bahan ini bersifat korosif, bisa mengiritasi kulit yang sensitif. Menurut Budiawan, senyawa ini bisa saja masuk ke dalam peredaran darah dengan cara menembus membran kulit. Karena itu produk-produk ini harus digunakan secara sangat hati-hati pada anak-anak. Jangan dioleskan di kulit yang luka. Tak perlu dioleskan tebal-tebal.
Mungkin kita akan berpikir, ini berbahaya, itu berbahaya. Terus, gimana dongl Ini perta-nyaan yang wajar. Pemakaian obat antinyamuk memang tidak bisa dihindari sama sekali. "Saya di rumah juga pakai. Cuma tidak setiap hari, seperlunya saja. Kalau lingkungan bersih 'kan kita sebetulnya tidak memerlukannya," kata Budiawan.
Ini bisa menjadi ukuran. Jika kita setiap hari menggunakan obat antinyamuk, berarti ada sesuatu yang mestinya dibereskan lebih dulu.
Budiawan juga menyarankan agar kita sebagai konsumen tidak terkecoh oleh kesan obat antinyamuk sebagai sesuatu yang wangi, lembut, cocok dipakai setiap hari, setiap saat. Aroma wangi sama sekali tidak mengurangi tingkat bahayanya buat kesehatan.
Insektisida tetaplah insektisida, apa pun bajunya.
(sumber: Intisari Maret 2007)